Curiosita
0
Budaya Meneliti, ''Curiosita'' dan Kendala Belajar PENELITIAN berasal dari kata teliti yang artinya mempelajari sesuatu secara teliti dan mendalam. Kegiatan ''meneliti'' dan mencoba dengan kemungkinan gagal (trial and error) secara alami dilakukan anak-anak yang punya rasa ingin tahu sangat besar. Oleh karenanya anak-anak mempunyai kecepatan belajar yang sangat mengagumkan. Bayangkan betapa banyak perbendaharaan kata yang mereka pelajari dan kuasai dalam waktu relatif singkat, ketika mereka mulai belajar berbicara. Syarat pertama dan paling utama untuk menjadi cerdas menurut Da Vinci adalah curiosita atau rasa ingin tahu. Setiap pembelajar, baik yang formal maupun tidak formal, perlu terampil mengajukan pertanyaan kepada dirinya sendiri, ''Apakah saya sudah belajar dan terampil mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat? Bagaimana saya bisa mengembangkan rasa ingin tahuku?'' Kecuali sengaja dipertahankan dengan sungguh-sungguh, dalam perkembangan usia setelah meninggalkan masa kanak-kanak, umumnya terjadi kemunduran dalam rasa ingin tahu dan minat/semangat dalam belajar. Ini juga terjadi pada kalangan guru dan dosen, lebih-lebih bila mereka beranggapan bahwa tugas mereka adalah mengajar atau memberi kuliah. Bila mereka sadar bahwa tugas utama mereka adalah mendorong proses belajar-mengajar, tentu akan tumbuh juga kesadaran untuk memelihara serta mengembangkan curiosita pada siswa/mahasiswa, maupun pada diri mereka sendiri sebagai guru/dosen. Tetapi minat melakukan penelitian di kalangan guru -- juga dosen -- diindikasikan begitu rendah. Sedangkan di sisi lain mereka sesungguhnya merupakan agen transformasi ilmu pengetahuan kepada publik calon intelektual (siswa dan mahasiswa) yang ada di bawah asuhannya. Sehingga para pendidik itu sudah seharusnya selalu menambah wawasan keilmuannya, termasuk melalui penelitian. Rendahnya minat meneliti di kalangan guru -- juga dosen -- dikhawatirkan akan berimplikasi terhadap proses transformasi ilmu yang mereka dilakukan. Di situlah persoalannya, mengapa budaya meneliti, minat meneliti di kalangan pendidik harus terus digemakan dan diwacanakan. Berbagai wacana menyuarakan bahwa untuk mendorong budaya meneliti di kalangan guru/dosen dibutuhkan insentif termasuk dana. Mereka bersuara lantang, uangnya dari mana? Biayanya dari mana? Uang memang penting sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan dasar, melancarkan gerak langkah dan memenuhi segala kebutuhan yang berkaitan dengan penelitian. Tetapi pada kalangan guru/dosen, seperti teori motivasi Abraham Maslow dan Frederick Herzberg, tentu kebutuhan mereka sudah bergeser ke jenjang yang lebih tinggi, yakni relasisasi diri. Apakah yang kira-kira membuat para peneliti paling bermotivasi? Tentu, kalau hasil-hasil penelitian mereka diapresiasi dan digunakan semestinya. Pemerintah sebagai administrator pembangunan bisa mengambil peran yang besar, membangun tatanan agar terjadi hubungan sinergistik antara peneliti dan pengguna hasil-hasil penelitian.