Curiosita

Budaya Meneliti, ''Curiosita'' dan Kendala Belajar
PENELITIAN berasal dari kata teliti yang artinya mempelajari sesuatu
secara teliti dan mendalam. Kegiatan ''meneliti'' dan mencoba dengan
kemungkinan gagal (trial and error) secara alami dilakukan anak-anak
yang punya rasa ingin tahu sangat besar. Oleh karenanya anak-anak
mempunyai kecepatan belajar yang sangat mengagumkan. Bayangkan
betapa banyak perbendaharaan kata yang mereka pelajari dan kuasai
dalam waktu relatif singkat, ketika mereka mulai belajar berbicara. 

Syarat pertama dan paling utama untuk menjadi cerdas menurut Da
Vinci adalah curiosita atau rasa ingin tahu. Setiap pembelajar, baik
yang formal maupun tidak formal, perlu terampil mengajukan
pertanyaan kepada dirinya sendiri, ''Apakah saya sudah belajar dan
terampil mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat? Bagaimana saya
bisa mengembangkan rasa ingin tahuku?'' 

Kecuali sengaja dipertahankan dengan sungguh-sungguh, dalam
perkembangan usia setelah meninggalkan masa kanak-kanak, umumnya
terjadi kemunduran dalam rasa ingin tahu dan minat/semangat dalam
belajar. Ini juga terjadi pada kalangan guru dan dosen, lebih-lebih
bila mereka beranggapan bahwa tugas mereka adalah mengajar atau
memberi kuliah. Bila mereka sadar bahwa tugas utama mereka adalah
mendorong proses belajar-mengajar, tentu akan tumbuh juga kesadaran
untuk memelihara serta mengembangkan curiosita pada siswa/mahasiswa,
maupun pada diri mereka sendiri sebagai guru/dosen. Tetapi minat
melakukan penelitian di kalangan guru -- juga dosen -- diindikasikan
begitu rendah. Sedangkan di sisi lain mereka sesungguhnya merupakan
agen transformasi ilmu pengetahuan kepada publik calon intelektual
(siswa dan mahasiswa) yang ada di bawah asuhannya. Sehingga para
pendidik itu sudah seharusnya selalu menambah wawasan keilmuannya,
termasuk melalui penelitian. Rendahnya minat meneliti di kalangan
guru -- juga dosen -- dikhawatirkan akan berimplikasi terhadap
proses transformasi ilmu yang mereka dilakukan. Di situlah
persoalannya, mengapa budaya meneliti, minat meneliti di kalangan
pendidik harus terus digemakan dan diwacanakan.   

Berbagai wacana menyuarakan bahwa untuk mendorong budaya meneliti di
kalangan guru/dosen dibutuhkan insentif termasuk dana. Mereka
bersuara lantang, uangnya dari mana? Biayanya dari mana? Uang memang
penting sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan dasar, melancarkan
gerak langkah dan memenuhi segala kebutuhan yang berkaitan dengan
penelitian. Tetapi pada kalangan guru/dosen, seperti teori motivasi
Abraham Maslow dan Frederick Herzberg, tentu kebutuhan mereka sudah
bergeser ke jenjang yang lebih tinggi, yakni relasisasi diri. Apakah
yang kira-kira membuat  para peneliti paling bermotivasi? Tentu,
kalau hasil-hasil penelitian mereka diapresiasi dan digunakan
semestinya. Pemerintah sebagai administrator pembangunan bisa
mengambil peran yang besar, membangun tatanan agar terjadi hubungan
sinergistik antara peneliti dan pengguna hasil-hasil
penelitian.

Leave a comment